Kehidupan, Mencari Pasangan dan Rasa Nyaman - Bagian 1.


 Alhamdulillah, akhirnya aku punya waktu untuk mengakses kembali dasbor blogku ini. Terakhir kali aku menulis di sini... hampir dua tahun yang lalu.

Kalian yang sedang membaca, apa kabar?

Oh ya, hari ini aku ingin mencurahkan isi pemikiran dan keresahanku selama ini.

Jadi mari kita mulai dengan pembahasan pertama:

KEHIDUPAN DAN DIRIKU

Sebagai seorang introver, aku mengakui bahwa untuk bisa terbuka dengan orang lain adalah hal yang paling sulit dilakukan. Belum lagi, aku memerlukan 'me time' untuk isi ulang si 'social battery-ku' ini.

Kenapa begitu?

Mari kita mundur sedikit, 10 tahun yang lalu? Hahaha.

Aku yang dulu adalah seseorang yang cukup ekstrover. Mudah terbuka ke orang lain. Sangat ekspresif. Bahkan sampai cukup 'spamming' di media sosial. 

Baik spam dalam bentuk narsisme alias selfie, aku juga spam dengan curhat-curhatan yang kekanak-kanakan.

Aku juga merupakan seseorang yang sering bertindak tanpa berpikir panjang. Ceroboh? Mungkin saja.

Hingga akhirnya aku mulai memahami bahwa segala sesuatu tindakan, ucapan dan juga keputusan bisa berdampak pada orang lain.

Bagaimana orang lain memikirkan tentang kita itu dikarenakan dari apa yang kita 'tampilkan'.

Perlahan, aku berubah menjadi seseorang yang sangat tertutup. Bagiku, orang lain tidak perlu tahu detail tentang hidupku, terutama di media sosial. Aku juga sering mempertimbangkan dahulu sebelum bertindak atau berbicara.

Hingga akhirnya aku berada di posisi sekarang, lebih sering menjadi pendengar yang baik ketimbang pencerita di lingkungan pertemanan.

Tentu ada kalanya aku bisa bercerita panjang, tapi itu hanya untuk orang-orang yang aku anggap mereka bisa aku percaya dan bisa mengimbangi caraku berpikir.

Ibarat bawang merah, ada banyak lapisan yang aku filter untuk setiap orang yang hadir di hidupku. 


Aku selalu membatasi level-level tertentu, seberapa jauh mereka boleh mengetahui tentang diriku dan seberapa jauh aku boleh kecewa.

Jujur aja, aku sangat membenci menaruh ekspektasi dengan manusia. Aku sering 'mencuci otakku' untuk berharap dengan Allah saja setiap kali merasa kecewa atas orang lain.

Keinginan untuk didengar tentu ada, dan itu sangat wajar kan? Apalagi aku memiliki banyak pemikiran, pertanyaan dan sebenarnya butuh sekali teman diskusi.

Tapi kembali lagi ke poin sebelumnya, aku tidak bisa terbuka dengan seseorang kalau aku merasa mereka belum satu frekuensi denganku. Daripada nanti kecewa, lebih baik aku bersabar dan memilah-milah.

Jadi kalau aku belum terbuka dan enggan bercerita banyak tentangku, bisa jadi dikarenakan:

1. Hasil observarsiku kepada orang ini belum mencapai tahap: "mereka belum bisa menjadi teman diskusi yang mengerti keresahanku."

2. Aku takut ketika aku membuka diri (bercerita) namun respon mereka mengecewakanku. Entah itu tidak didengar atau diabaikan.

 Jadi bagaimana aku bertahan diri ketika orang terdekat sedang tidak bisa dihubungi atau menjadi teman cerita?

Pilihanku hanya ada tiga, yaitu:

1. Cerita ke Allah.

2. Cerita ke diri sendiri. Mikir sendiri.

3. Ditahan, menunggu sampai ketemu orang tersebut untuk bercerita langsung.

Untuk bagian pertama dari tulisan kali ini, aku akhiri di sini saja ya. Mudah-mudahan untuk bagian kedua bisa aku lanjutkan dalam waktu dekat hehehe.

- TBC

Tidak ada komentar:

Posting Komentar